Scroll untuk baca artikel
Kabar

Tadarus Puisi, Beno Siang Pamungkas Ajak Temukan Jawaban dalam Congyang

Admin
21
×

Tadarus Puisi, Beno Siang Pamungkas Ajak Temukan Jawaban dalam Congyang

Sebarkan artikel ini

Saat bait-bait puisi menggema dan irama musik mengalun, Tadarus Puisi Bersama Beno Siang Pamungkas dan Saote Boemi menjadi lebih dari sekadar pertunjukan ia adalah refleksi spiritual dan budaya.

NARALOKA.OR.ID – Malam itu, langit di atas Ndalem Wongsorogo berpendar lembut, dihiasi bintang-bintang yang seperti ikut menyimak syair dan musik yang mengalun. Di halaman Pondok Pesantren Budaya Ndalem Wongsorogo, Srogo, Brangsong, Kendal, sebuah perhelatan sastra tengah berlangsung: Tadarus Puisi: Beno Siang Pamungkas dan Satoe Boemi.

Suasana terasa sakral. Malam Ramadhan yang sunyi berubah menjadi ruang penuh renungan dan kontemplasi.

Beno Siang Pamungkas, penyair asal Semarang yang sudah dikenal dengan gaya lantangnya, hadir sebagai pengisi utama.

Penulis buku kumpulan puisi Sajak Sampah Gerinda Baja (1994) dan Ensiklopedia Kesedihan (2008) ini tidak sendiri.

Kelompok musik Satoe Boemi turut mengiringi dengan alunan nada yang menambah magis suasana. Mereka tidak hanya membacakan puisi, tetapi juga menghidupkannya, menjadikannya suara yang bisa dirasakan hingga ke relung hati.

Beno membawakan tiga puisinya: Fu Fu Fa Fa, Congyang, dan Negeri Abrakadabra. Namun, satu yang paling mencuri perhatian malam itu adalah Congyang.

Sebuah puisi yang menggugah, penuh kritik sosial, dan dibawakan dengan interaksi yang begitu dekat dengan penonton.

Saat Beno membacakan puisinya, hadirin serempak menjawab dengan lantang: “Congyang”, menciptakan gema yang seakan menembus ruang dan waktu.

Kalau pejabat berpesta pora, dan rakyatnya menderita, temukan jawaban dalam Congyang.
Kalau lembaga-lembaga agama semua sudah diakomodir dan mendapatkan konsesi, temukan dalam Congyang.
Kalau politisi sudah punya hobi untuk mengibuli, cari jawaban dalam Congyang.
(Beno Siang Pamungkas)

Bait-bait itu menusuk, mengundang tawa getir, sekaligus menghadirkan refleksi mendalam. Congyang sendiri, minuman khas Semarang yang lahir dari akulturasi budaya Jawa dan Tionghoa sejak 1923, menjadi metafora yang kaya makna. Dalam kadar yang tepat, ia bisa menjadi penghangat, tetapi dalam berlebih, ia bisa memabukan.

Beno mengaku menikmati suasana malam itu.

“Tadarus Puisi di bulan suci ini mengingatkan kita bahwa kata-kata adalah doa. Semoga kita semua mendapat Lailatul Qadar,” ujarnya penulis Gobang Semarang dan Menyelam Dalam kumpulan puisi bersama Timur Sinar Suprabana.

Bukan hanya Beno yang membuat malam itu begitu berkesan. Wakil Bupati Kendal, Benny Karnadi, turut hadir dan bahkan tampil membawakan lagu Redemption Song dari Bob Marley.

“Lagu ini tentang kebebasan, tentang perjuangan. Saya suka karena pesan yang dibawanya masih sangat relevan,” katanya.

Kehadirannya menambah dimensi tersendiri dalam acara ini bahwa seni, politik, dan spiritualitas bisa bertemu dalam satu ruang yang sama.

tadarus puisi benny karnadi

Tak kalah memikat, Adira Hesti Ksvara, cucu Kusbini (pencipta lagu legendaris Bagimu Negeri), turut serta dengan alunan biolanya yang melankolis.

Ketika ia memainkan lagu Bagimu Negeri, suasana mendadak hening. Semua hadirin seolah larut dalam gelombang kenangan dan nasionalisme yang terbangkitkan dari gesekan senarnya.

Di balik kemeriahan ini, ada sosok Paox Ibenk, pemimpin Pondok Pesantren Budaya Ndalem Wongsorogo, yang menjadi penggerak utama.

Ia menjelaskan bahwa Tadarus Puisi adalah bagian dari program rutin selapanan bernama Getuk Lindri (Gerakan Kesenian untuk Santri Sekitar).

“Karena ini bulan Ramadhan, kami ingin membawa nuansa spiritual ke dalam seni,” katanya.

Selain Beno dan Satoe Boemi, panggung Tadarus Puisi juga diramaikan oleh grup musik Lesbumi Kendal, grup rebana IPNU-IPPNU, tarian santri Pondok Pesantren Budaya Ndalem Wongsorogo, serta penampilan dari Kyai Budi Harjono, Gus Par Wong, dan Lukni Maulana. []