TENTARA BUKA PUASA
kang
beras tinggal serupa doa di dasar tempayan
minyak goreng habis bagai bayangan dhuha
gas elpiji laksana bintang di siang bolong
tak tampak, tak tergenggam
kang
lihatlah, di seberang jalan ada wajah-wajah tertawa
tersenyum dari kain-kain mewah
menjanjikan kemakmuran dan kesejahteraan
dan tentu saja…semua untuk rakyat
kang
puasa ini berat, bukan karena haus dan lapar
tapi menahan lara melihat harga yang menari di atas angin
sementara upah tetap seperti batu di dasar sungai
di dapur, ia mengaduk air panas
seolah berharap aroma nasi keluar
anaknya bertanya;
“bu, besok kita buka puasa dengan apa?”
ia tersenyum
senyum yang lebih pahit dari kopi tanpa gula
lebih getir dari janji-janji yang tak pernah bertemu nyata
kang
di gedung-gedung tinggi
orang-orang berdasi bersidang
mereka menyulam nasib negeri dengan benang ilusi
menenunnya dalam bayang-bayang kuasa
hingga rakyat hanya bisa meraba pola yang tak pernah tercipta
prajurit aktif di kementerian dan lembaga
tentara-tentara turun dari baraknya
bukan ke medan perang
tapi ke kursi-kursi empuk tempat aturan ditulis
dengan tinta yang lebih tebal dari nurani
jika mereka semua mengenakan seragam
lalu rakyat harus mengenakan apa
kang
di media sosial mereka berkhutbah;
“ini demi stabilitas. ini demi kepentingan bangsa.”
stabilitas siapa
bangsa siapa
sebab yang aku tahu
harga kebutuhan pokok tak pernah stabil
kang
ramadan datang membawa cahaya
tapi cahaya itu dikurung dalam lentera emas
mereka menyalakan lilin, bukan untuk menerangi
tapi untuk membakar sisa-sisa harapan
malam itu, ia berdoa;
bukan memohon ampun atas segala dosa
bukan ingin mendapatkan malam seribu bulan
Ia hanya ingin satu hal:
keadilan
tapi bukan dipecah dan dibagi oleh mereka yang rakus
21 Ramadan 2025