Pulangkan Emak bukan hanya sebuah pertunjukan teater, tetapi juga cermin pahit realitas keluarga yang terjebak dalam ketidakadilan ekonomi
NAIRALOKA – Teater Beta Semarang berhasil menghipnotis ratusan penonton di Auditorium Kampus 1 Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo, Semarang, Selasa (17/12/2024) malam, lewat pementasan naskah “Pulangkan Emak”.
Mengadaptasi karya fenomenal “Tuhan, Tolong Bunuh Emak” karya Yessy Natalia, pertunjukan ini menyuguhkan potret pedih keluarga kecil yang bergulat dengan himpitan ekonomi.
Drama ini berfokus pada kisah Bekti, seorang kepala keluarga yang diperankan Lukman, mahasiswa Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Walisongo.
Bekti hidup di antara tiga dilema besar: merawat ibunya yang sakit kanker, membiayai pendidikan kedokteran anaknya, dan melunasi utang yang terus menjerat kepada rentenir.
Ketegangan dalam drama ini memuncak ketika rentenir menawarkan solusi keji: menikahkan anak Bekti, Wiyarti, dengan si bos demi meringankan beban utang.
Konflik ini membawa emosi yang mendalam, menggambarkan realitas banyak keluarga di Indonesia yang terjebak dalam sistem ekonomi yang timpang.
Sutradara Alifian memilih pendekatan realis dengan penataan panggung yang sederhana namun penuh makna.
Elemen-elemen seperti meja makan, kursi, dan kamar tidur menciptakan suasana rumah yang menggambarkan kehidupan keluarga kecil penuh tekanan.
“Pementasan ini adalah kritik terhadap ketidakadilan sistem ekonomi yang sering menjebak keluarga kecil dalam lingkaran kemiskinan,” ujar Alifian seusai pertunjukan.
Menurutnya, karakter Bekti adalah cerminan nyata dari banyak kepala keluarga yang berjuang di tengah ketidaksetaraan ekonomi.
Adegan-adegan emosional berhasil mengaduk perasaan penonton. Tangisan, kemarahan, dan putus asa tergambar nyata di panggung, mengundang simpati yang mendalam.
Pegiat teater, Hammam Abduh mengaku tersentuh dengan alur cerita naskah Pulangkan Emak.
“Ini bukan hanya cerita keluarga biasa, tetapi cerminan nyata dari banyak keluarga yang hidup di bawah tekanan ekonomi. Terlebih era saat ini jeratan ekonomi bukan sekadar sama rentenir, bisa saja melalui paylater atau pinjol” ungkapnya.
Meski demikian, Hammam memberikan masukan terkait tata panggung, apalagi jika memainkan naskah realis.
“Begitu juga pemain untuk terus belajar olah vokal maupun main teater, karena berbeda main teater dengan film,” imbuhnya.
Perayaan 39 Tahun Teater Beta
Sebelum pementasan dimulai, Lukni Maulana, sesepuh Teater Beta, memberikan sambutan dengan menyampaikan terminologi sufistik “Man arafa nafsahu” (barang siapa mengenal dirinya).
“Ungkapan ini menjadi landasan mendalam bagi pekerja teater untuk memahami hakikat dirinya. Namun, perjalanan mereka tidak berhenti di sana. Mereka harus melampaui batas personalitasnya untuk memerankan karakter orang lain,” jelas Lukni.
Ia juga menambahkan bahwa proses mendalami karakter dapat disejajarkan dengan maqam ma’rifat dalam tasawuf, yakni tingkatan spiritual di mana seseorang mengenal hakikat yang lebih tinggi di balik keberadaan.
Menurut Lukni, proses eksplorasi batin dan pendalaman karakter bagi pekerja teater setara dengan tarekat dalam terminologi tasawuf.
“Begitu pula dalam pendekatan akademis, kuliah dan mendengarkan materi dari dosen adalah bagian dari syariat. Sedangkan bermain teater, dengan segala proses eksplorasi batin, latihan intensif, dan pendalaman karakter, adalah tarekatnya,” jelas Ketua Lesbumi PWNU Jateng periode 2018-2023 ini.
Pementasan “Pulangkan Emak” ini juga menjadi persembahan istimewa untuk memperingati 39 tahun berdirinya Teater Beta, yang didirikan pada 8 Desember 1985.
Lurah Kelompok Pekerja Teater (KPT) Beta, Sa’bani Khaoirul Ihsani, berharap dapat terus menjadi media kritik sosial yang relevan.
“Dengan semangat mengolah rasa dan menebar kreasi, kami ingin teater menjadi pembelajaran dan refleksi hidup bagi masyarakat,” ujar Sa’bani.
Sejak didirikan, Kelonpk Pekerja Teater (KPT) Beta telah mementaskan 86 pertunjukan. Dengan semakin bergeliatnya kelompok teater ini di tengah modernisasi, mereka berharap seni ini terus hidup dan memberikan ruang refleksi bagi masyarakat terhadap persoalan sosial yang nyata.
Pementasan “Pulangkan Emak” membuktikan bahwa teater bukan sekadar hiburan, melainkan medium yang efektif untuk menyuarakan keadilan sosial.
Drama ini menggambarkan realitas pahit yang dihadapi banyak keluarga di Indonesia, sambil menawarkan refleksi mendalam bagi para penonton.
Melalui panggung, Teater Beta berhasil membawa pesan penting: keluarga adalah fondasi bangsa, dan kesenjangan ekonomi harus menjadi perhatian semua pihak. Di tengah modernisasi, seni teater seperti ini layak terus dijaga sebagai media refleksi kehidupan.
Dengan kehadiran pertunjukan ini, menunjukkan bahwa seni peran memiliki kekuatan untuk menginspirasi, mengkritik, dan memotivasi masyarakat untuk menciptakan perubahan. []